Profil Pesantren
Profil Pesantren Salafiyah Pakisan Tlogosari Bondowoso
Pesantren
Islam Salafiyah Hidayatullah, Pakisan, terletak di sebelah timur kota
Bondowoso. Tepatnya di desa Pakisan, kecamatan Tlogosari, Bondowoso Jawa
Timur. Orang-orang lebih mengenal daerah ini dengan Pakisan. Karena
dulunya di daerah ini, banyak tumbuh tanaman Pakis. Orang setempat
kemudian menamai daerah ini dengan Pakisan. Daerah pakisan merupakan
daerah pegunungan dengan hawa yang cukup sejuk. Curah hujan juga cukup
tinggi. Jarak Pakisan dengan kota Bondowoso, apabila ditempuh dengan
kendaraan yang berkecepatan 60 km/jam, membutuhkan waktu sekitar 30-45
menit. Dan jika dihitung dengan jarak, Pesantren Pakisan dengan kota
Bondowoso berjarak sekitar 17 kilometer.
Pesantren
Salafiyah berdiri di atas tanah yayasan seluas ±
2 hektar. Di atas tanah ini, ada tiga gedung yang digunakan untuk tempat tinggal santri baik santri putra maupun santri putri yang keseluruhan santri menetap di kompleks pesantren. Untuk kompleks santri putra, ada dua gedung. Yang pertama gedung dua lantai yang ditempati saat ini. Yang kedua, gedung dua lantai yang masih dalam tahap penyelesaian. Untuk gedung dua lantai yang pertama, bagian bawah diperuntukkan bagi santri tingkat Tsanawiyah (SMP). Sedangkan gedung bagian atas diperuntukkan bagi santri tingkat Aliyah (SMU). Adapun tujuan pemisahan ini adalah untuk melatih kemandirian dan menjaga kesetaraan antar santri. Sehingga sikap egaliterian bisa tercipta karena posisi yang setara di antara mereka.
Namun di masing-masing kamar santri, ada satu orang pendamping yang bernama ketua kamar. Ketua kamar ini berfungsi sebagai murabbi. Artinya murabbi
adalah orang yang mengayomi dalam segala hal termasuk bagaimana cara
berpakaian yang baik dan beraklakul karimah yang baik. Baik beraklakul
karimah antar sesama teman maupun berahlakul karimah dengan yang maha
kuasa. Tugas ketua kamar sebagai murabbi bukan tugas yang ringan. Karena baik buruknya anak kamar tergantung kepada ketua kamar yang sekaligus murabbi
ini. Dengan pengertian lain, ketua kamar merupakan kepanjangantangan
pengasuh pesantren. Mengingat, pengasuh pesantren tidak bisa setiap saat
mengawasi dan memberikan tauladan kepada masing-masing santri secara
keseluruhan. Pengasuh hanya bisa memberikan contoh secara global. Karena
di pesantren yang paling penting adalah pemberian contoh. Tanpa contoh
yang baik dari yang tua, yang lebih muda akan bertindak semaunya. Pada
gilirannya, ketauladanan menjadi ajaran yang pokok di dalam pesantren
salafiyah.
Jumlah
santri putra di masing-masing kamar bervariasi. Ada yang terdiri dari
tujuh belas anak dan ada pula kamar yang jumlahnya lebih dari tujuh
belas. Jumlah yang tidak layak menurut standar kesehatan, ungkap salah
seorang dari dinas kesehatan yang pernah berkunjung ke pesantren ini
suatu waktu. Namun langkah ini tetap diambil. Karena dana yang ada dan
dimiliki oleh pesantren belum memungkinkan untuk membangun gedung baru.
Pesantren sendiri belum mempunyai pemasukan yang tetap di luar iuran
santri yang bisa menopang pesantren. Iuran santri sendiri lebih banyak
minus ketimbang lebihnya. Selain keterlambatan pembayaran, banyak santri
yang menjadi tanggungan pesantren. Karena selama ini, pesantren
menanggung makan sekitar tiga puluh orang setiap harinya.
Di
samping itu, jumlah santri semakin hari semakin meningkat dan banyak
yang berdatangan terutama santri dari luar kota. Dan jumlah santri yang
meningkat tidak disertai dengan jumlah kamar yang meningkat pula. Jumlah
kamar masih berjumlah delapan kamar dengan ukuran 4X6 meter. Sehingga
santri banyak yang tidur di masjid dan di ruang kelas.
Untuk
tempat santri putri, terdapat gedung dua lantai dengan jumlah kamar
sebanyak delapan kamar. Masing-masing kamar berukuran 5x5 meter persegi.
Dengan ukuran itu, kamar diisi sebanyak lima belas anak. Ada pula yang
lebih dari lima belas. Jumlah ini, lagi-lagi menurut orang-orang dari
dinas kesehatan, merupakan jumlah yang tidak memenuhi standar kesehatan
(ideal). Namun lagi-lagi langkah ini diambil, mengingat pesantren tidak
mempunyai dana yang cukup untuk membeli sebidang tanah yang ditawarkan
oleh penduduk sekitar pesantren untuk perluasan pondok. Sementara
peningkatan santri putri lebih banyak jumlahnya dari pada jumlah santri
putra setiap tahunnya. Akibatnya, banyak santri terkena penyakit asma.
Seorang dokter yang sering memeriksa kesehatan santri mensinyalir bahwa
gedung yang pengab menjadi penyebabnya.
Sedangkan
untuk gedung yang dijadikan tempat penyelenggaraan pendidikan formal,
pesantren menyediakan empat ruang untuk Tsanawiyah dan kantornya, empat
ruang untuk Aliyah dan kantornya, satu ruang perpustakaan, satu ruang
Lab Bahasa Inggris Self Access, satu ruang laboratorium komputer,
satu ruang serba guna (aula), satu ruang Klinik kesehatan dan satu
ruang lagi untuk kantor Yayasan Pondok Pesantren Islam (YPPI). Semua
ruang itu untuk sementara waktu masih memungkinkan untuk digunakan.
Walaupun disana sini perlu adanya beberapa perbaikan karena kondisi
gedung sudah banyak yang rusak. Khususnya, ruang kelas Tsanawiyah perlu
untuk direhap total. Kayu-kayu kusen dan jendelanya sudah rusak parah.
Untuk kelas jauh perguruan tinggi, sementara ini pesantren masih
meminjamkan ruang kelas Aliyah untuk dijadikan tempat. Di samping itu,
masjid yang menjadi sarana ibadah pusat kegiatan santri berada di depan
kantor Yayasan dan di depan rumah pengasuh pesantren. Masjid pesantren
ini hingga saat ini masih dalam tahap renovasi.
Adapun
jumlah santri secara keseluruhan sebesar 244 santri dengan rincian 132
orang santri putra dan 112 orang untuk santri putri. Santri-santri itu
kebanyakan berasal dari Bondowoso sendiri. Santri yang berasal dari luar
Bondowoso dalam jumlah prosentase berjumlah sebesar 40 %. Kebanyakan
santri yang dari luar Bondowoso berasal dari Sampang-Madura, Jember,
Malang, Probolinggo, Surabaya, Jawa Tengah (kudus), Situbondo,
Banyuwangi, Bali dan Lombok.
Kegiatan santri sehari-hari
Kegiatan
santri dalam kesehariannya terbagi menjadi dua macam kegiatan. Pertama
kegiatan formal dan yang kedua adalah kegiatan informal. Formal artinya
resmi dan diakui oleh negara. Sedangkan informal adalah tidak resmi dan
tidak diakui oleh negara. Yang diakui adalah ijasahnya. Dan terkadang
resmi dan tidak resmi ini membawa dampak tersendiri bagi semangat
belajar santri. Santri lebih berorientasi kepada pendidikan resmi.
Mengingat ijasahnya bisa digunakan untuk melanjutkan jenjang pendidikan
yang lebih tinggi di luar pesantren. Sedangkan ijasah pesantren yang
tidak diakui oleh negara dipandang tidak banyak berguna bagi santri
ketika akan melanjutkan pendidikan di luar pesantren.
Kegiatan
formal santri dilaksanakan di lembaga Tsanawiyah, Aliyah dan Perguruan
Tinggi. Sedangkan kegiatan santri yang informal dilaksanakan di luar
waktu-waktu-waktu penyelenggaraan pendidikan formal. Ada beberapa bentuk
kegiatan informal. Kegiatan itu meliputi pertukangan dan bangunan,
kesenian, kursus komputer, ketrampilan jahit-menjahit, tata boga, dan
perkebunan. Untuk kesenian, pesentren mempunyai beberapa fasilitas yang
mendukung santri baik putra maupun putri untuk mengembangkan bakat dalam
kesenian. Misalnya kesenian drumband, hadrah, gambus, dan pencak silat.
Kesenian yang sering tampil dan diundang bahkan keluar kota adalah
drumband dan gambus. Disamping itu, pesantren juga mengembangkan tanaman
hias dalam bidang perkebunan. Usaha ini bertujuan melatih santri
mencintai lingkungan dan punya ketrampilan dalam bercocok tanam.
Diharapkan, santri setelah pulang ke masyarakat mempunyai ketrampilan
yang beragam untuk bekal dalam mengarungi hidup.
Untuk
kegiatan informal santri yang bersifat keagamaan, kegiatan santri juga
beragam dan padat. Di pagi hari sehabis subuh, semua santri mengikuti
pengajian kitab kuning dengan tingkat kemampuan masing-masing. Di
masjid, pengajian diperuntukkan bagi santri yang sudah Aliyah.
Siswa-siswi Tsanawiyah mengikuti latihan dasar dalam pembelajaran kitab
kuning di ruang kelas untuk putra dan di surau untuk putri. Yang belum
bisa mengikuti pengajian kitab kuning, ditekankan untuk mendalami bacaan
al-Qur’an. Karena kemampuan membaca al-Qur’an merupakan tolak ukur
masyarakat dalam menilai seorang santri. Apakah santri itu
bersungguh-sungguh belajar di pesantren atau tidak. Kalau santri belum
bisa membaca al-Qur’an, masyarakat akan menilai santri belum berhasil
dalam belajar di pondok pesantren. Untuk kitab kuning, masyarakat tidak
terlalu memperhatikan. Karena santri juga punya tujuan berbeda dalam
belajar di pesantren. Ada santri yang sekedar ingin tahu membaca
al-Quran dan pengetahuan agama yang digunakan untuk dirinya sendiri. Ada
santri yang menginginkan lebih untuk menyebarkan ilmu yang diperolehnya
di pondok kepada masyarakat luas. Tujuan yang terakhir ini menuntut
santri membekali dirinya dengan bermacam-macam pengetahuan. Mengingat
kebutuhan masyarakat juga bermacam-macam.
Kegiatan
informal sehabis subuh berhenti sampai matahari terbit dan santri
bersiap-siap untuk sekolah formal. Sekolah formal dilakukan dari pukul
07.00, pagi hingga jam 02.00, sore. Sehabis itu, santri beristirahat
untuk persiapan mengikuti acara mengkaji al-Qur’an bersama selama satu
jam di masjid setelah sholat jemaah ashar. Sehabis sholat jemaah magrib,
santri semuanya diharuskan mengaji al-Qur’an bersama dengan didampingi
oleh santri yang lebih senior. Kegiatan ini diakhiri oleh sholat jama’ah
isya’. Setelah sholat jamaah isya’, semua santri senior dan Aliyah
diharuskan mengikuti pengajian tafsir jalalain di masjid secara sorogan
yang dibacakan langsung oleh pengasuh Pesantren K. Muhammad Holid, S.Ag,
M.Hum. Untuk santri Tsanawiyah, mereka mengikuti pengajian yang di
kelas-kelas sebagaimana jamak dilakukan di waktu habis subuh. Kegiatan
santri secara informal ini dilakukan dalam siklus yang terus-menerus
hingga hari libur bulan puasa tiba.
Di
luar kegiatan informal dan formal di atas, santri di malam selasa dan
jum’at berkumpul di depan ruang kantor Tsanawiyah untuk menonton TV
bersama. Kegiatan ini dilakukan untuk mengurangi kejenuhan santri yang
penat mengikuti jadwal yang padat. Kegiatan ini juga dimaksudkan untuk
memberikan informasi kepada santri tentang perkembangan di dunia. Untuk
informasi sehari-hari, santri bisa mengakses koran kompas dan jawa pos
yang disediakan oleh pesantren. Santri juga bisa mengakses informasi
melalui buku-buku yang tersedia di perpustakaan pesantren. Untuk
sementara waktu, semua buku hasil sumbangan pemerintah dan pembelian
disatukan di satu tempat yakni perpustakaan pesantren Salafiyah
Hidayatullah. Untuk pembelian buku, pesantren mengalokasikan dana dua
ratus ribu rupiah setiap bulannya. Alokasi ini sebetulnya terlalu
sedikit untuk perpustakaan. Namun dana yang dimiliki oleh pesantren
masih Sangat terbatas.